Skip to main content

Nasruddin Hoja: Cara Membaca Buku


Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nasruddin mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis.

Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.

Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Nasruddin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali.

Sambil memegangnya dengan serius, Nasruddin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.

“Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!”

“Aku tahu,” jawab Nasruddin acuh, “Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu.”

Popular posts from this blog

Nasruddin Hoja: Yang Tersulit

Salah seorang murid Nasruddin di sekolah bertanya, “Manakah keberhasilan yang paling besar, orang yang bisa menundukkan sebuah kerajaan, orang yang bisa tetapi tidak mau, atau orang yang mencegah orang lain melakukan hal itu?” “Nampaknya ada tugas yang lebih sulit daripada ketiganya,” kata Nasruddin. “Apa itu?” “Mencoba mengajar engkau untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.”

Nasruddin Hoja: Yang Benar

Nasruddin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasruddin berkomentar, “Aku rasa engkau benar.” Petugas majelis membujuk Nasruddin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nasruddin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Nasruddin kembali berkomentar, “Aku rasa engkau benar.” Petugas mengingatkan Nasruddin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah ! Nasruddin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar, “Aku rasa engkau benar.”

Nasruddin Hoja: Mengabdi pada Pemilik Segala-Nya

Nasruddin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh supaya Nasruddin mencari kerja upahan. “Tapi aku mengabdi kepada Allah saja,” kata Nasruddin mendengar istrinya mengeluhkan kemiskinan . “Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah,” kata istrinya. Nasruddin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, “Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!” berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Nasruddin. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Nasruddin. Tapi ia terkejut waktu Nasruddin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak “Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah.” Sang tetangga menyerbu rumah Nasruddin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Nasruddin menjawab “Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah.” Tetangganya marah. Ia mengajak Nasruddin menghadap hakim. Nasruddin berkelit, “Aku tidak pantas ke pengadil