Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2015

Nasruddin Hoja: Perusuh

Kebetulan Nasruddin sedang ke kota raja. Tampaknya ada kesibukan luar biasa di istana. Karena ingin tahu, Nasruddin mencoba mendekati pintu istana. Tapi pengawal bersikap sangat waspada dan tidak ramah. “Menjauhlah engkau, hai Mullah!” teriak pengawal. (Nasruddin dikenali sebagai mullah karena pakaiannya) “Mengapa?” tanya Nasruddin. “Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung pembicaraan penting. Pergilah!” “Tapi mengapa rakyat harus menjauh?” “Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang masuk dan mengganggu. Sekarang, pergilah!” “Iya, aku pergi. Tapi pikirkan ini: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana?” kata Nasruddin sambil beranjak dari tempatnya.

Nasruddin Hoja: Pelayan Raja

Nasruddin menjadi orang penting di istana, dan bersibuk mengatur urusan di dalam istana. Suatu hari raja merasa lapar. Beberapa koki menyajikan hidangan yang enak sekali. “Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah ?” tanya raja kepada Nasruddin. “Teramat baik, Tuanku.” Mendengar komentar Nasruddin, raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima hari kemudian, ketika koki untuk yang kesepuluh kali memasak masakan yang sama, raja berteriak: “Singkirkan semuanya! Aku benci makanan ini!” “Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku.” ujar Nasruddin. “Tapi belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran terbaik.” “Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan sayuran.”

Nasruddin Hoja: Yang Tersulit

Salah seorang murid Nasruddin di sekolah bertanya, “Manakah keberhasilan yang paling besar, orang yang bisa menundukkan sebuah kerajaan, orang yang bisa tetapi tidak mau, atau orang yang mencegah orang lain melakukan hal itu?” “Nampaknya ada tugas yang lebih sulit daripada ketiganya,” kata Nasruddin. “Apa itu?” “Mencoba mengajar engkau untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.”

Nasruddin Hoja: Yang Benar

Nasruddin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasruddin berkomentar, “Aku rasa engkau benar.” Petugas majelis membujuk Nasruddin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nasruddin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Nasruddin kembali berkomentar, “Aku rasa engkau benar.” Petugas mengingatkan Nasruddin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah ! Nasruddin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar, “Aku rasa engkau benar.”

Nasruddin Hoja: Mengabdi pada Pemilik Segala-Nya

Nasruddin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh supaya Nasruddin mencari kerja upahan. “Tapi aku mengabdi kepada Allah saja,” kata Nasruddin mendengar istrinya mengeluhkan kemiskinan . “Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah,” kata istrinya. Nasruddin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, “Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!” berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Nasruddin. Ia melemparkan seratus keping perak ke kepala Nasruddin. Tapi ia terkejut waktu Nasruddin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak “Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari Allah.” Sang tetangga menyerbu rumah Nasruddin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Nasruddin menjawab “Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah.” Tetangganya marah. Ia mengajak Nasruddin menghadap hakim. Nasruddin berkelit, “Aku tidak pantas ke pengadil

Nasruddin Hoja: Membedakan Jenis Kelamin

Seorang tetangga Nasruddin telah lama bepergian ke negeri jauh. Ketika pulang kampung, dia menceritakan pengalaman-pengalamannya yang aneh di negeri orang, termasuk kepada Nasruddin. “Kau tahu,” katanya pada Nasruddin, “Ada sebuah negeri yang aneh. Di sana udaranya panas bukan main sehingga tak seorangpun yang mau memakai pakaian, baik lelaki maupun perempuan.” Nasruddin senang dengan lelucon itu. Katanya, “Kalau begitu, bagaimana cara kita membedakan manusia laki-laki dengan manusia perempuan?”

Nasruddin Hoja: Nasib dan Asumsi

“Apa artinya nasib, Mullah ?” “Sekumpulan asumsi.” “Bagaimana?” “Begini.. Engkau menganggap bahwa segalanya akan berjalan baik, tetapi kenyataannya tidak begitu. Nah itu yang disebut nasib buruk. Atau, engkau punya asumsi bahwa hal-hal tertentu akan menjadi buruk, tetapi nyatanya tidak terjadi. Itu nasib baik namanya. Engkau punya asumsi bahwa sesuatu akan terjadi atau tidak terjadi, kemudian engkau kehilangan intuisi atas apa yang akan terjadi, dan akhirnya berasumsi bahwa masa depan tidak dapat ditebak. Ketika engkau terperangkap di dalamnya, maka engkau namakan itu nasib.”

Nasruddin Hoja: Pada Sebuah Kapal

Nasruddin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nasruddin selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya. Kemudian cuaca benar-benar menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat. “Teman-teman!” teriak Nasruddin. “Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!”

Nasruddin Hoja: Makanan Untuk Baju II

Nasruddin Hoja menghadiri sebuah pesta pernikahan. Dilihatnya seorang sahabatnya sedang asyik makan. Namun, di samping makan sebanyak-banyaknya, ia sibuk pula mengisi kantong bajunya dengan makanan. Melihat kerakusan sahabatnya, Nasruddin mengambil teko berisi air. Diam-diam, diisinya kantong baju sahabatnya dengan air. Tentu saja sahabatnya itu terkejut, dan berteriak, “Hai Nasruddin, gilakah kau ? Masa kantongku kau tuangi air!” “Maaf, aku tidak bermaksud buruk, sahabat,” jawab Nasruddin, “Karena tadi kulihat betapa banyak makanan ditelan oleh kantongmu, maka aku khawatir dia akan haus. Karena itu kuberi minum secukupnya.”

Nasruddin Hoja: Makanan Untuk Baju I

Nasruddin Hoja menghadiri sebuah pesta. Tetapi karena hanya memakai pakaian yang tua dan jelek, tidak ada seorang pun yang menyambutnya. Dengan kecewa Nasruddin pulang kembali. Namun tak lama, Nasruddin kembali dengan memakai pakaian yang baru dan indah. Kali ini tuan rumah menyambutnya dengan ramah. Ia diberi tempat duduk dan memperoleh hidangan seperti tamu-tamu lainnya. Tetapi Nasruddin segera melepaskan baju itu di atas hidangan dan berseru, “Hei baju baru, makanlah! Makanlah sepuas-puasmu!” Untuk mana ia memberikan alasan “Ketika aku datang dengan baju yang tadi, tidak ada seorang pun yang memberi aku makan. Tapi waktu aku kembali dengan baju yang ini, aku mendapatkan tempat yang bagus dan makanan yang enak. Tentu saja ini hak bajuku. Bukan untukku.”

Nasruddin Hoja: Minta Hujan

Nasruddin sedang mengembara cukup jauh ketika ia sampai di sebuah kampung yang sangat kekurangan air. Menyambut Nasruddin, beberapa penduduk mengeluh. “Sudah enam bulan tidak turun hujan di tempat ini, ya Mullah. Tanaman-tanaman mati. Air persediaan kami tinggan beberapa kantong lagi. Tolonglah kami. Berdoalah meminta hujan.” Nasruddin mau menolong mereka. Tetapi ia minta dulu seember air. Maka datanglah setiap kepala keluarga membawa air terakhir yang mereka miliki. Total terkumpul hanya setengah ember air. Nasruddin melepas pakaiannya yang kotor, dan dengan air itu, Nasruddin mulai mencucinya. Penduduk kampung terkejut, “Mullah ! Itu air terakhir kami, untuk minum anak-anak kami!” Di tengah kegaduhan, dengan tenang Nasruddin mengangkat bajunya, dan menjemurnya. Pada saat itu, terdengar guntur dahsyat, yang disusul hujan lebat. Penduduk lupa akan marahnya, dan mereka berteriak gembira. “Bajuku hanya satu ini,” kata Nasruddin di tengah hujan dan teriakan penduduk, “Bila

Nasruddin Hoja: Cara Membaca Buku

Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nasruddin mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya. Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Nasruddin segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nasruddin membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal. “Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!” “Aku tahu,” jawab Nasruddin acuh, “Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya, memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu.”

Nasruddin Hoja: Jatuh ke Kolam

Nasruddin hampir terjatuh ke kolam. Tapi orang yang tidak terlalu dikenalnya berada di dekatnya menolong pada saat yang tepat. Namun setelah itu, setiap kali bertemu Nasruddin orang itu selalu membicarakan peristiwa itu, dan membuat Nasruddin berterima kasih berulang-ulang. Suatu hari, untuk yang kesekian kalinya, orang itu menyinggung peristiwa itu lagi. Nasruddin mengajaknya ke kolam tempatnya hampir jatuh, dan kali ini Nasruddin langsung melompat ke air. “Kau lihat! Sekarang aku sudah benar-benar basah seperti yang seharusnya terjadi kalau engkau dulu tidak menolongku. Sudah, pergi sana!”

Nasruddin Hoja: Jangan Terlalu Dalam

Telah berulang kali Nasruddin mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian. Hakim di desanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu. Keadaan ini selalu berulang sehingga Nasruddin menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi — kita tahu — menyogok itu diharamkan. Maka Nasruddin memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri. Nasruddin menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan kotoran sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, Nasruddin mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim. Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Nasruddin. Nasruddin kemudian bertanya, “Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan ?” Hakim tersenyum lebar. “Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya.” Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. “Wah, enak benar m

Nasruddin Hoja: Itik Berkaki Satu

Sekali lagi Nasruddin diundang Timur Lenk. Nasruddin ingin membawa buah tangan berupa itik panggang. Sayang sekali, itik itu telah dimakan Nasruddin sebuah kakinya pagi itu. Setelah berpikir-pikir, akhirnya Nasruddin membawa juga itik panggang berkaki satu itu menghadap Timur Lenk. Seperti yang kita harapkan, Timur Lenk bertanya pada Nasruddin, “Mengapa itik panggang ini hanya berkaki satu?” “Memang di negeri ini itik-itik hanya memiliki satu kaki. Kalau Anda tidak percaya, cobalah lihat di kolam.” Mereka berdua berjalan ke kolam. Di sana, banyak itik berendam sambil mengangkat sebuah kakinya, sehingga nampak hanya berkaki satu. “Lihatlah,” kata Nasruddin puas, “Di sini itik hanya berkaki satu.” Tentu Timur Lenk tidak mau ditipu. Maka ia pun berteriak keras. Semua itik kaget, menurunkan kaki yang dilipat, dan beterbangan. Tapi Nasruddin tidak kehilangan akal. “Subhanallah,” katanya, “Bahkan itik pun takut pada keinginan Anda. Barangkali kalau Anda meneriaki saya, say

Nasruddin Hoja: Keledai Membaca

Timur Lenk menghadiahi Nasruddin seekor keledai. Nasruddin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata, “Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya.” Nasruddin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasruddin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya. Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nasruddin. “Demikianlah,” kata Nasruddin, “Keledaiku sudah bisa membaca.” Timur Lenk mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia membaca?” Nasruddin berkisah, “Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terla

Nasruddin Hoja: Keadilan dan Kelaliman

Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia, Timur Lenk mengundang para ulama di kawasan itu. Setiap ulama beroleh pertanyaan yang sama. “Jawablah, apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal.” Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban kejahatan Timur Lenk ini. Dan akhirnya, tibalah waktunya Nasruddin diundang. Ini adalah perjumpaan resmi Nasruddin yang pertama dengan Timur Lenk. Timur Lenk kembali bertanya dengan angkuh, “Jawablah, apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal.” Dan dengan menenangkan diri, Nasruddin menjawab, “Sesungguhnya, kamilah, para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami

Nasruddin Hoja: Gelar Timur Lenk

Timur Lenk makin mempercayai Nasaruddin, dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya. “Nasruddin,” katanya suatu hari, “Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil ‘Alallah, Al-Mu’tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku?” Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang bengis. Tapi tak lama, Nasruddin menemukan jawabannya. “Saya kira, gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah (Aku berlindung kepada Allah) saja.”

Nasruddin Hoja: Timur Lenk Di Dunia

Timur Lenk masih meneruskan perbincangan dengan Nasruddin soal kekuasaannya. “Nasruddin! Kalau setiap benda yang ada di dunia ini ada harganya, berapakah hargaku?” Kali ini Nasruddin menjawab sekenanya, tanpa banyak berpikir. “Saya taksir, sekitar 100 dinar saja” Timur Lenk membentak Nasruddin, “Keterlaluan! Apa kau tahu bahwa ikat pinggangku saja harganya sudah 100 dinar.” “Tepat sekali,” kata Nasruddin. “Memang yang saya nilai dari Anda hanya sebatas ikat pinggang itu saja.”

Nasruddin Hoja : Timur Lenk Di Akhirat

Timur Lenk meneruskan perbincangan dengan Nasruddin soal kekuasaannya. “Nasruddin! Menurutmu, di manakah tempatku di akhirat, menurut kepercayaanmu? Apakah aku ditempatkan bersama orang-orang yang mulia atau yang hina ?” Bukan Nasruddin kalau ia tak dapat menjawab pertanyaan ‘semudah’ ini. “Raja penakluk seperti Anda,” jawab Nasruddin, “Insya Allah akan ditempatkan bersama raja-raja dan tokoh-tokoh yang telah menghiasi sejarah.” Timur Lenk benar-benar puas dan gembira. “Betulkah itu, Nasruddin?” “Tentu,” kata Nasruddin dengan mantap. “Saya yakin Anda akan ditempatkan bersama Fir’aun dari Mesir, raja Namrudz dari Babilon, kaisar Nero dari Romawi, dan juga Jenghis Khan.” Entah mengapa, Timur Lenk masih juga gembira mendengar jawaban Nasruddin.