Telah berulang kali Nasruddin mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian. Hakim di desanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu.
Keadaan ini selalu berulang sehingga Nasruddin menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi — kita tahu — menyogok itu diharamkan. Maka Nasruddin memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri.
Nasruddin menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan kotoran sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, Nasruddin mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim.
Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Nasruddin.
Nasruddin kemudian bertanya, “Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan ?”
Hakim tersenyum lebar. “Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya.” Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. “Wah, enak benar mentega ini!”
“Yah,” jawab Nasruddin, “Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam.” Dan berlalulah Nasruddin.
Keadaan ini selalu berulang sehingga Nasruddin menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi — kita tahu — menyogok itu diharamkan. Maka Nasruddin memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri.
Nasruddin menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan kotoran sapi hingga hampir penuh. Kemudian di atasnya, Nasruddin mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim.
Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk membubuhi tanda tangan pada perjanjian Nasruddin.
Nasruddin kemudian bertanya, “Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan ?”
Hakim tersenyum lebar. “Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya.” Ia mencuil sedikit mentega dan mencicipinya. “Wah, enak benar mentega ini!”
“Yah,” jawab Nasruddin, “Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam.” Dan berlalulah Nasruddin.